Recent Posts

    Rencana kepala daerah dipilih DPRD, Perludem: 'Akuntabilitas dan transparansi pemilihan makin gelap'




    Komisi II DPR akan revisi UU Pilkada
    Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PPP, Arwani Thomafi, mengaku partainya sejak 2014 mendukung pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Selain karena diklaim menghemat biaya, juga menekan ongkos politik yang harus ditanggung calon kepala daerah.
    "Kalau bagi PPP, pilkada langsung memang lebih tampak sebagai pesta yang menghabiskan banyak biaya tapi belum tentu atau tidak melahirkan pemimpin yang hebat," ujar Arwani Thomafi.

    "Indikatornya sebagian besar terjerat kasus korupsi dan bisa dikaitkan dengan biaya politik dalam pilkada yang besar," sambungnya.

    Kendati demikian, Arwani meminta pemerintah memikirkan betul-betul rencana tersebut agar di belakang tidak dianulir lewat Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (Perppu) seperti di saat Susilo Bambang Yudhoyono memimpin.
    Kala itu pada 2014, pemerintah dan DPR sepakat mengganti tata cara pemilihan kepala daerah melalui DPRD.
    Tapi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 itu ditentang publik dan akhirnya dibatalkan lewat Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi.
    Karena itulah PPP, katanya, tidak akan langsung menyetujui wacana itu sebelum Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian memaparkan evaluasi dan kajian terbarunya. Meski Komisi II DPR sudah berencana merevisi Undang-Undang Pilkada dan dimasukkan dalam prolegnas prioritas.
    "Ya kita lihat dulu seperti apa. Bahwa pilkada langsung habiskan biaya, waktu, tenaga, iya."
    Sepengetahuannya, calon kepala daerah tingkat bupati atau wali kota yang ingin maju setidaknya harus mengantongi modal Rp15-Rp20 miliar. Uang itu habis terpakai untuk mahar politik kepada parpol, kampanye, dan membayar saksi ketika penghitungan suara.
    "Kalau enggak ada saksi, kampanye, alat peraga, itu semua butuh biaya dan itu luar biasa besar."
    Bagi Arwani tak ada solusi untuk persoalan ini selain mengubah metode pemilihan, meskipun tak ada jaminan bersih dari praktik korupsi. Tapi minimal, katanya, meminimalisir.
    'Memberangus hak rakyat'

    Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mendesak pemerintah dan DPR mengurungkan niat merevisi Undang-Undang Pilkada dengan mengganti sistem pilkada.
    Menurutnya pembahasan tentang hal tersebut sudah selesai pada 2014 dengan dibatalkannya pemilihan lewat DPRD oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
    Dari analisis Perludem, banyak kepala daerah tersandung kasus korupsi disebabkan ketidakberdayaan partai politik mengawasi kadernya yang berkuasa dan fungsi inspektorat yang tidak berjalan.


    Sementara itu, calon kepala daerah tidak harus menanggung biaya politik yang besar jika partai politik tidak menerapkan mahar dan partai bisa mengajukan calon yang memiliki basis massa yang kuat.
    "Kalau tidak punya basis massa yang kuat, ya wajar uang jadi solusi untuk merebut suara rakyat," ujar Titi Anggaraini kepada BBC, Minggu (10/11).
    "Sementara rakyat jadi objek yang terdampak dari perilaku politik transaksional, minus kaderisasi politik. Maka yang harus dibenahi partainya. Bagaimana partai melakukan rekrutmen berbasis kaderisasi," sambungnya.
    Perludem, kata Titi, sudah lama mengajukan solusi kepada pemerintah dan DPR agar membuat aturan yang membatasi belanja kampanye demi meringankan beban calon kepala daerah.
    Hal lain, penguatan akuntabilitas dan penegakkan hukum terkait dana kampanye dan insentif untuk pembiayaan kampanye --di mana negara mensubsidi biaya iklan di media massa dan pemasangan alat peraga.
    "Mestinya Kemendagri fokusnya di sana, gimana memfasilitasi instrumen itu agar bisa menjamin kompetisi yang jujur dan adil. Bukan solusinya memotong pilkada langsung. Kalau simpulannya melompat begitu, situasi yang lebih buruk yang akan terjadi," pungkasnya.
    Situasi buruk itu, menurutnya, terlihat dari bakal hilangnya hak warga negara dalam menentukan siapa pemimpinnya. Sebab demokrasi mengamanatkan rakyat sebagai pemilik kekuasaan.
    "Kedua, akuntabilitas dan transparansi proses pemilihan makin gelap. Karena itu hanya diputuskan segelintir orang yang sangat minim partisipasi warga dan sangat mungkin terjadi transaksional."
    Terakhir, kata Titi, bisa memicu konflik jika keputusan yang diambil DPRD tidak sejalan dengan keinginan warga. Ujung-ujungnya melahirkan apatisme terhadap pemerintahan yang terbentuk.

    0 Response to "Rencana kepala daerah dipilih DPRD, Perludem: 'Akuntabilitas dan transparansi pemilihan makin gelap'"

    Post a Comment

    gunakan kolom komentar secara bijak dan sifatnya membangun.
    Karena komentar kalian sangat penting bagi kemajuan Blog ini.

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel